John Hutagaol
Delegasi Indonesia pada Pertemuan ke-8
The Inclusive Framework on BEPS
Latar Belakang
Salah satu agenda Pertemuan the Inclusive Framework on BEPS ke-8 (selanjutnya disingkat IF) pada tanggal 29-30 Januari 2020 di OECD Paris adalah membahas tantangan perpajakan yang timbul dari transaksi ekonomi digital. Sejak dibentuknya Task Force on Digital Economy pada Pertemuan IF ke -3 di Paris awal Januari 2017, pembahasan BEPS 2.0 terkait ekonomi digital terus bergulir dengan cepat. Terakhir pembahasan sudah mengarah pada Pilar Satu terkait Unified Approach dan Pilar Dua terkait global anti avoidance atau GloBE. Pembahasan ke-2 Pilar tersebut direncanakan akan selesai dengan konsensus global di akhir Desember 2020. Salah satu yang menarik disimak lebih lanjut adalah Unified Approach, selain alot pembahasannya juga banyak kepentingan yang perlu sinergikan dan diharmonisasikan.
Unified Approach adalah suatu proposal untuk menentukan batasan suatu nexus dan metode alokasi laba suatu entitas hukum pelaku transaksi ekonomi digital atau transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Proposal tersebut merupakan hasil sintesis dan harmonisasi dari ke-3 proposal sebelumnya yaitu user participation yang diusulkan oleh Inggris, market intangible oleh Amerika Serikat dan Significant Economic Presence oleh India yang mewakili G24. Namun ke-3 proposal tersebut memiliki pendekatan yang berbeda dalam menentukan nexus dan metode alokasi laba. Sehingga Unified Approach juga dimaksudkan untuk mengakomodasi ke-3 kepentingan tersebut.
Unified Approach pertama kali dibahas pada rapat konsultasi publik di awal Oktober 2019 di OECD Paris, dan proposal tersebut baru pada tahap pengenalan serta masih banyak yang perlu diklarifikasi mengenai kebijakan dan teknis serta beberapa terminologi yang digunakan dalam proposal tersebut.
Pembahasan mengenai Unified Approach akan terus bergulir dan dilakukan secara bersama-sama oleh lebih dari 100 yurisdiksi anggota IF, dan diharapkan pada bulan Desember 2020 akan diperoleh konsensus global.
Mengenal Unified Approach
Unified Approach merupakan solusi untuk merespon dampak ekonomi digital dalam menentukan hak pemajakan suatu yurisdiksi (nexus) dan bagaimana mengalokasikan laba secara fair dan proporsional kepada yurisdiksi yang berhak seperti yurisdiksi domisili, yurisdiksi market atau sumber, dan yurisdiksi dimana Intelectual Property (IP) terdaftar.
Kebijakan umum dalam Unified Approach mengatur mengenai cakupan jenis usaha, batasan usaha perusahaan dan nexus serta metod alokasi laba (profit alllocation method). Pertama, jenis usaha mencakup transaksi ekonomi digital atau usaha yang berbasis ekonomi digital seperti eCommerce, over the top, gig and sharing economy, consumer facing business. Sedangkan yang dikecualikan adalah sektor usaha pertambangan dan sektor keuangan.
Kedua, perusahaan yang tercakup (covered Multinational Enterprise) ditentukan batas ambang (treshold) berdasarkan jumlah minimal tertentu misalnya di atas 750 Juta Euro, artinya bila jumlah peredaran usahanya di atas batas ambang maka perusahaan tersebut termasuk yang dicakup dalam Unified Approach, namun bila jumlah peredaran usahanya di bawah atau tidak lebih dari treshold, maka perusahanan tersebut tidak tercakup dalam Unified Approach, artinya tidak dikenakan pajak berdasarkan skema Unified Approach dan pengenaan pajaknya sepenuhnya sesuai ketentuan domestik masing-masing anggota yurisdiksi. Penerapan treshold juga berlaku dalam menentukan yurisdiksi pasar yang tercakup dalam Unified Approach yaitu yurisdiksi yang berhak memajaki laba usaha global.
Ketiga, perlakuan pajak atas penghasilan perusahaan terdiri atas Amount A yaitu perusahaan yang menjalankan usaha secara global tanpa memerlukan kehadiran fisik (physical presence) sehingga tidak menimbulkan suatu bentuk usaha tetap (permanent establishment), Amount B yaitu perusahaan yang menjalankan usaha global disertai dengan kehadiran fisik dan memiliki fungsi distribusi. Namun bila perusahanan tersebut memiliki fungsi yang luas selain fungsi distribusi maka dikelompokkan dalam Amount C. Ke-3 kelompok di atas dimaksudkan untuk menentukan bagaimana laba global tersebut dialokasikan.
Keempat, metode alokasi laba terkait Amount A bertujuan mengalokasikan besaran laba global kepada masing-masing yurisdiksi yang berhak misalnya yurisdiksi domisili tempat dimana perusahaan penerima penghasilan (ultimate receipient) terdaftar, yurisdiksi pasar tempat sumber penghasilan timbul (market jurisdiction) dan yurisdiksi tempat intellectual properti terdaftar (IP owner).
Komponen metode alokasi laba tersebut terdiri dari laba global (global profits) yaitu total laba perusahaan dalam satu grup, laba rutin (routine profits) yaitu laba yang wajar yang lazimnya diperoleh oleh satu perusahaan, dan laba residu (residual profits) yaitu selisih positif laba global atas laba. Selanjutnya, laba rutin sepenuhnya dipajaki di yurisdiksi domisili, sedangkan laba residu dibagi masing-masing kepada yurisdiksi pasar dan IP dengan rasio tertentu.
Kelima, metode alokasi laba terkait dengan Amount B ditetapkan jumlahnya dalam prosentasi tertentu dari laba dan hak pemajakannya diberikan kepada yurisdiksi sumber. Sedangkan untuk Amount C, jumlah laba yang dialokasikan kepada yurisdiksi sumber lebih besar porsinya ketimbang Amount B karena fungsinya lebih luas dari distribusi.
Penutup
Proposal Unified Approach masih terus dibahas dan disempurnakan guna mendapatkan persetujuan dari seluruh anggota yurisdiksi IF sehingga menjadi konsensus global yang kemudian akan menjadi acuan dalam memajaki penghasilan dari transaksi ekonomi digital. Disadari bahwa banyak PR yang harus diselesaikan oleh TFDE dan seluruh kelompok kerja (Working Parties) di OECD bersama-sama seluruh yurisdiksi anggota IF untuk mengejar deadline yaitu Desember 2020.
------------------------------------------------------------------------------
Penulis adalah Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan
Comments